Perdebatan mengenai upah minimum terus menjadi isu penting bagi buruh di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Rekomendasi kenaikan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) yang seharusnya dipatuhi justru sering kali diabaikan, memicu protes dari kalangan pekerja.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia di Jawa Barat, Suparno, mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan gubernur yang mencoret sejumlah rekomendasi yang telah diajukan. Situasi ini berpotensi menciptakan ketidakpercayaan di kalangan buruh terhadap pemerintah dan proses penetapan upah.
Dalam catatan Suparno, terdapat 19 daerah yang telah menyerahkan rekomendasi terkait UMSK kepada Gubernur Dedi Mulyadi. Namun, dari total 486 item rekomendasi, hanya 49 yang diterima, sedangkan 437 item lainnya tidak dipertimbangkan, menimbulkan kesan bahwa proses ini kurang transparan.
Tanggapan Buruh terhadap Keputusan Gubernur
Suparno melanjutkan bahwa keputusan gubernur mencortel rekomendasi yang diajukan menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kebutuhan buruh. “Ini sangat jelas mencederai kepercayaan publik,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa seharusnya rekomendasi tersebut dihargai dan diakui.
Pihak buruh tidak terima dengan alasan yang disampaikan oleh gubernur yang menyatakan bahwa tidak ada rekomendasi dari daerah. Suparno menegaskan bahwa rekomendasi yang ada justru ditolak tanpa alasan yang jelas.
“Gubernur seharusnya jujur kepada rakyat dan buruh, bukan menutupi kebijakan dengan narasi yang tidak mendasar,” tambahnya. Pernyataan ini menunjukkan betapa buruh merasa diabaikan dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung.
Kritik terhadap Proses Penetapan UMSK
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga bersuara mengenai penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang dianggap tidak adil. Mereka menyatakan bahwa proses yang harusnya transparan dan melibatkan semua pihak justru berlangsung sebaliknya.
Presiden KSPI, Said Iqbal, mengungkapkan bahwa bupati dan wali kota telah mengirimkan rekomendasi untuk UMSK, namun hasil akhir tidak memenuhi harapan. “Banyak upah yang tidak diputuskan padahal sangat dibutuhkan oleh para pekerja,” katanya.
Dalam konferensi pers daring, Iqbal mendesak agar gubernur merevisi keputusan terkait UMSK. “Kami ingin seluruh rekomendasi UMSK yang tadi diabaikan diakui dan ditetapkan untuk tahun 2026,” jelasnya sebagai bentuk tuntutan yang jelas dari pihak buruh.
Akibat Kebijakan yang Tidak Konsisten
Keputusan yang terputus-putus mengenai upah minimum ini berisiko menciptakan ketidakpastian di kalangan buruh. Apabila sistem penetapan upah tidak berjalan dengan adil, para pekerja akan mengalami kesulitan dalam mencari nafkah.
Hal ini juga dapat memicu protes lebih lanjut dari kalangan buruh, yang merasa bahwa hak mereka diabaikan. “Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan terus memperjuangkan hak kami,” tegas Suparno, menegaskan komitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan para pekerja.
Dengan adanya ketidakpuasan yang meluas, berdasarkan hasil pengamatan, masyarakat akan lebih kritis terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Ini menjadi tanda bahwa buruh tidak hanya mendesak, tetapi juga berhak untuk mendapatkan perhatian dan hak yang sesuai.
Potensi Dialog dan Penyelesaian
Berhadapan dengan kondisi ini, dialog antara pemerintah dan buruh menjadi semakin penting. Pihak pemerintah diharapkan mau mendengarkan aspirasi buruh dan mempertimbangkan setiap rekomendasi yang diajukan dengan bijak.
Suparno mendorong untuk menciptakan dialog yang konstruktif agar semua pihak bisa menemukan solusi. “Kami siap berdialog dengan pemerintah untuk mencari solusi yang adil bagi semua,” ujarnya.
Melalui dialog yang terbuka, diharapkan pemerintah dan buruh bisa mencapai kesepakatan dalam hal penetapan upah yang lebih adil. Ini diharapkan akan berujung pada kebijakan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi ekonomi di daerah tersebut.

